Translate

Sabtu, 11 Oktober 2014

Ubah Limbah Jadi Kerajinan Tangan, Untung Jutaan Rupiah

Berawal dari perkumpulan teman yang punya kreativitas sama.

Gonone Art, suatu perkumpulan perajin di Ternate, Maluku, anggotanya meraih untung jutaan rupiah per bulan. Bratex Hirata Soamole, seorang perajin Gonone Art, menjelaskan bahwa nama "gonone" diambil dari hewan sejenis kutu.

"Kalau didekati, bisa gatal. Jadi, maksud 'gonone' ini adalah apabila orang dekat-dekat, dia bisa tertular kreativitas," ujar Hirata ketika ditemui dalam suatu pameran di Kementerian Perindustrian, Jakarta.

Hirata berkisah bahwa perkumpulan ini terbentuk secara tidak sengaja. Awalnya, pada 2004, dia dan lima orang temannya sering berkumpul di rumah Hirata.
Di sana dalam perbincangannya, Hirata dan teman-teman bercerita bahwa mereka tidak punya wadah untuk menyalurkan kreativitasnya. Saat itulah, tercetus ide untuk membuat perkumpulan perajin yang bernama Gonone Art.

"Ini berawal dari perkumpulan teman-teman yang punya kreativitas sama. Masing-masing punya keahlian, seperti anyaman, dekorasi, dan sablon. Saat kumpul itulah, kami membentuk Gonone Art," kata Hirata yang sekaligus koordinator Gonone Art.

Sarjana sosiologi ini rela merogoh kocek pribadi untuk memodali organisasi perajin ini sebesar Rp1,5 juta. Dengan modal itu, paguyuban ini membeli peralatan kerajinan seperti gergaji besi, kikir kayu, dan ampelas.
Lalu, bagaimana dengan bahan bakunya?
Pria ini menggunakan bahan baku seperti bambu tutul, kayu manis, batok kayu, kerang, dan buah cepilong dari tanaman sejenis bakau, bahkan kulit durian. Mereka juga memanfaatkan limbah tanaman.

"Bahan baku melimpah di sana. Misalnya, bambu tutul. Di Maluku Utara, bambu ini masih banyak. Ini juga ada di Ternate, Tidore, dan Jailolo. Dia tumbuh secara liar," kata Hirata.

Dia hanya mendatangkan bahan-bahan lain seperti cat, lem, dan ampelas dari luar Maluku. "Kalau lem alteko, kami datangkan dari Jawa," kata dia.

Lalu, bahan-bahan tersebut mereka olah menjadi kerajinan tangan yang sangat cantik, seperti tas, gelas, toples, kap lampu, dan tempat tisu. Misalnya, mereka membuat kap lampu dari kulit durian dan bambu, tempat tisu dari kayu manis, dan batok kelapa untuk membuat asbak.

Lama pembuatan kerajinan itu sekitar 1-2 mingguan, dari pengeringan hingga proses pembuatan. Pegawai negeri ini pun tidak terlalu banyak menggunakan cat untuk memoles kerajinan tangannya itu.

"Kalau tempat tisu dari kayu manis, kami menjemur kayu manis, lalu memotongnya dengan ukuran sesuai keinginan. Kayu manis dijemur supaya melilit," ujar dia.
"Setelah itu, kami membuat bingkai tempat tisu, lalu, kami menyusun kayu manis tersebut di dalam bingkai. Setelah dirangkai, kami mengelemnya dengan lem semacam alteko sebagai finishing. Kami tidak mau menggunakan cat karena itu bisa menghilangkan aroma kayu manis," papar Hirata.

Produk-produk Gonone Art dijual dengan harga yang bervariasi, mulai Rp50 ribu hingga Rp3 juta. "Untuk asbak, harganya Rp50 ribu, lampu setinggi orang dewasa seharga Rp3 juta, dan tempat minum dari bambu seharga Rp70 ribu," kata dia.

Paguyuban yang kini beranggotakan 15 orang ini mampu menghasilkan puluhan juta rupiah dari masing-masing perajin. "Pendapatan bersih tiap orang itu sebesar Rp3,5 juta per bulan. Bahkan, ada juga yang melebihi itu," kata dia.

Apabila berminat mengunjungi showroom Gonone Art, Anda bisa berkunjung ke Gonone Art, Jalan Delima RT 003/RW 002, Kelurahan Toboko, Ternate, Maluku Utara. Hirata juga melayani pemesanan barang kerajinan.
"Bisa satu barang dan tidak bergantung pada berapa jumlah barang. Tapi, kalau banyak dan kami tidak mampu, ya, kami tolak," kata Hirata.

"Semoga bagi teman-teman yang membaca testimoni ini bisa membuat lebih bersemangat dan tidak takut untuk mencoba hal-hal yang dianggap remeh oleh orang lain namun jika kita mampu dan jeli dalam melihat peluang akan mendatangkan dan menghasilkan sesuatu".

Dikutip dari laman :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar